Tentang Kami



Pondok Pesantren Raudhatul Huffadz terletak di Kabupaten Tabanan Bali, tepatnya di Jalan A. Yani Gang Kamboja I /04 Kediri Tabanan, Bali. Pondok ini berjenis kombinasi, artinya terdiri dari santri laki-laki dan perempuan. Jumlah santri laki-laki 241 orang, sedangkan yang perempuan 142 orang.
Pondok Pesantren Raudhatul Huffadz merupakan pondok yang fokus pada hafalan al-Qur’an, dimana porsi mengaji dan setoran al-Qur’an lebih banyak daripada kajian literatur pesantrennya. Adapun para santriwan maupun santriwatinya terdiri para pelajar yang berasal dari dan luar Bali.

Raudlatul Huffadz merupakan salah satu dari beberapa Pondok Pesantren (PonPes) yang ada di Pulau Bali. Pondok ini didirikan oleh KH. Noor Hadi, seorang muslim asal Demak, Jawa Tengah dan terletak di Jl. A. Yani, Gg. Kamboja 1/04, Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali. Pesantren yang berdiri di tengah-tengah penduduk yang notabene mayoritas non-muslim ini memfokuskan pada penghafalan al-Qur’an disamping ilmu-ilmu agama lainnya. Sebagai pondok yang berdiri di tengah mayoritas penduduk beragama hindu ini, tentu banyak sisi menarik yang layak untuk diungkap. Baik dari sisi sejarah berdirinya sampai peran dan langkah-langkah hingga mampu eksis di tengah kepungan kepercayaan agama lain. Sejarah dan latar belakang berdirinya pondok pesantren ini bermula dari keinginan beliau Noor Hadi untuk berdakwah dan mendirikan pesantren di Bali. Pada tahun 1979, beliau dengan hanya bermodalkan hafalan al-Qur’an berangkat memasuki Pulau Dewata. Bapak yang juga warga Nahdlatul Ulama’ (NU) ini terdampar di sebuah mushala di Tabanan ketika pertama kali menjejakkan kaki di Bali. Sebagai seorang musafir yang baru pertama kali datang ke Bali, hal yang pertama kali dilakukan adalah mencari tempat tinggal. Dengan kemampuan hafal al-Qur’an yang dimilikinya, dia berhasil meyakinkan penduduk setempat dan diperbolehkan tinggal di mushala tersebut. Di daerah yang terletak di Jl. A. Yani ini lah nantinya dia memulai perjuangan mendirikan Pondok Pesantren. Hal yang pertama kali dia lakukan sesampainya di Bali adalah mencari teman-teman seperjuangan yang ada di Bali. Bersama enam orang lainnya dia memulai usaha dakwahnya berawal dari daerah sekitar Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan sendiri memiliki jumlah penduduk sebanyak 350.000 Kepala Keluarga (KK). Dari jumlah tersebut hanya sekitar 5.000 KK yang beragama islam. Dengan kata lain, Noor Hadi berdakwah di daerah yang notabene mayoritas penduduknya beragama non islam, sebagian besar Hindu. Tabanan sendiri terbagi ke dalam delapan (8) kecamatan, yang mana dari setiap kecamatan sebenarnya sudah terdapat satu buah mushala. Hanya satu kecamatan saja yang belum ada mushalanya. Namun, kondisi mushala tersebut bagaikan hidup segan mati tak mau. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi Noor Hadi. Beranjak dari itu lah, Noor Hadi beserta enam temannya mempunyai inisiatif untuk mengadakan kegiatan keagamaan (pengajian, red) di delapan kecamatan tersebut. Dari sini lah beliau menemui hambatan pertamanya. Berawal dari pelaksanaan pengajian di satu kecamatan yang belum ada mushalanya itu, Noor Hadi dkk yang menyewa tempat di sebuah ruko pasar mendapatkan perlawanan dari orang-orang setempat. Beliau beserta jamaah mendapatkan lemparan batu agar dengan segera membubarkan kegiatan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari penduduk setempat yang memang anti terhadap kegiatan berbau agama. Untuk hal-hal semacam tadi penduduk memang masih sangat sensitive. Namun untuk hubungan social dalam kehidupan sehari-hari, penduduknya terkenal ramah dan baik hati tanpa memandang agama orang lain. Hal ini dibuktikan dari pengalaman Noor Hadi ketika saling bertegur sapa dengan penduduk sekitar. Setiap kali bertemu dia selalu disapa dengan sapaan yang sangat ramah, seperti (mau kemana?, red) lalu disambung dengan (mampir, makan-makan dulu, red). Keramahan tersebut tetap terjaga hingga terjadi peristiwa yang menggegerkan Indonesia, bahkan dunia, yaitu dua kali peristiwa bom Bali. Peristiwa bom Bali yang digawangi oleh Amrozi dkk itu tidak hanya melululantahkan bangunan-bangunan di Bali tapi juga kerukunan hidup antar umat beragama yang telah lama terjaga. Setelah peristiwa bom Bali itu umat islam mendapatkan banyak pandangan negative. Umat islam yang dulu hidup damai dengan umat agama lain, kini dianggap sebagai teroris yang sewaktu-waktu siap untuk meledakkan bom. Umat islam di Bali menjadi tidak nyaman untuk beraktivitas karena selalu mendapat kecurigaan. Kehidupan ekonomi baik umat islam maupun umat agama lain juga jatuh. Banyak umat islam yang dulu sudah mapan ekonominya waktu itu harus kocar kacir dan balik ke kampung halaman. Hal ini sangat disayangkan oleh Noor Hadi dan bertekad untuk memperbaikinya. Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, langkah awal yang dilakukan oleh Hadi adalah mengembalikan perekonomian umat islam. Hal ini bertujuan agar kalau umat islam sudah mapan, maka kegiatan syi’ar islam akan lebih mudah untuk diwujudkan. Ini tidak terlepas dari kondisi umat islam Bali yang memang “rendah” tingkat ekonominya bila dibandingkan dengan umat Hindu. Usaha yang direncanakannya itu menuai hasil setelah mendapatkan dukungan dari Gubernur setempat pada waktu itu yang memang secara kebetulan juga beragama islam. Langkah yang beliau ambil ini tidak terlepas dari semangat dan motivasi beliau untuk menyi’arkan islam dan mendirikan PonPes di Bali yang notabene jauh berbeda dari kultur islam, baik dari segi budaya, agama, dan etnic. Namun, Noor Hadi yang diliputi semangat al-Qur’an berkeyakinan bahwa hanya al-Qur’an lah yang mampu menembus semua perbedaan yang ada, karena di dalam al-Qur’an tidak terdapat suatu perbedaan. Hanya al-Qur’an lah yang mampu menyelesaikan semua perbedaan yang ada. Hal ini sebagaimana ayat al-Qur’an yang berbunyi ............فان تنازعتم في شيئ فردوه الى الله ....الأية (QS. An-Nisa’: 59). Dengan semangat al-Qur’an tersebut, keinginan beliau untuk mendirikan pondok pesantren di Bali semakin menggebu. Ditambah lagi dengan adanya dorongan dari guru beliau, yaitu Kyai Arwani, Kudus, agar dia mendirikan sebuah pondok dan diberi nama Raudlatul Huffadz. Bangunan pertama kali pondok ini didirikan di atas sebidang tanah dengan ukuran 3x4 meter2 yang beliau beli sendiri. Pada masa-masa awal, beliau mengajar sendiri dengan murid seadanya serta tidur bersama di lantai bangunan yang sempit itu. Setelah pondok berdiri, keinginan beliau selanjutnya adalah membangun sebuah masjid. Namun dalam langkahnya menemui berbagai kendala. Mulai dari adanya Peraturan Daerah yang mengharuskan setiap pendirian tempat ibadah harus ada komunitas paling sedikit 60 KK hingga 100 KK dan disyaratkan harus sebagai pemilik tanah yang diakui sebagai penduduk dibuktikan dengan menunjukkan KTP. Ditambah lagi dengan mengingat kondisi umat islam Bali jarang ada yang memiliki tanah sendiri. Jangankan untuk wakaf masjid, untuk kebutuhan sendiri saja sudah susah. Maka untuk mensiasati hal tersebut, maka dicetuskan rencana untuk saling lelang dan iuran di antara warga guna pembangunan masjid. Selain itu dalam rangka memudahkan dakwanya, dia bersama enam orang temannya tadi yang kebetulan sama-sama warga NU, membentuk suatu badan kepengurusan dengan tanpa Surat Keputusan (SK) dari PBNU. Beliau mengangkat diri sebagai Rais Suriah waktu itu. Namun dalam perkembangannya nanti beliau ditetapkan Rais Suriah terlama mulai dari 1980-sekarang. Dalam usahanya satu ini juga tidak terlepas dari berbagai kendala. Diantaranya adalah ketika mendapatkan undangan untuk menghadiri dua muktamar, Situbondo dan Yogya, mereka dilarang masuk karena tidak memiliki SK. Puncaknya adalah ketika menjelang muktamar di Pasuruan. Waktu itu pengurus PBNU membawa surat yang isinya tentang pembekuan NU Bali. Namun, dengan segala upaya akhirnya kini NU Bali sudah diakui dan Noor Hadi ditetapkan sebagai Rais Suriah terlama. Selain menjabat sebagai Rais Suriah, beliau juga mengasuh dan mengembangkan eksistensi PonPes Raudlatul Huffazh miliknya. Salah satu yang menjadi concern beliau adalah penghafalan al-Qur’an dengan berbagai metodenya. Adapun metode yang dikembangkan beliau dalam pondok ini terdiri dari berbagai macam. Pertama, istiqamah, artinya para santri harus menyediakan waktu-waktu tertentu untuk “bercumbu” dengan al-Qur’an. Kedua, menulis, artinya santri selain menghafal juga harus mampu untuk menuliskan apa yang telah dihafalnya. Ini untuk mempermudah mengingat hafalan. Hal ini juga dilatarbelakangi keprihatinan beliau yang menyaksikan banyaknya anak muda sekarang yang tidak bisa menulis arab, baik yang lulusan aliyah maupun pesantren. Terakhir adalah ketelitian terhadap tanda waqaf (tempat berhenti baca). Beliau akan menyalahkan bacaan santri apabila dia salah dalam me-waqaf-kan bacaannya. Hal ini berguna untuk menghindari adanya salah pemaknaan dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini karena banyaknya orang yang salah dalam menafsirkan al-Qur’an. Beliau juga menyayangkan orang-orang yang memahami al-Qur’an secara tekstual. Pernah suatu ketika ada orang beranggapan bahwa shalat dengan sambil berjalan ataupun berkendara itu boleh. Hal ini berdasarkan pemahaman harfiyah terhadap ayat 236 dalam surat al-Baqarah. Ini merupakan bencana, yang karena keterbatasan pemikiran sendiri sehingga al-Qur’an menjadi begitu sempit cakupannya. Beliau juga mengungkapkan hadits yang berarti bahwa menafsirkan al-Qur’an dengan akal (ra’yi) adalah hal yang salah. Hal ini tidak terlepas dari penyayangan beliau terhadap tindakan para teroris, seperti Amrozi dkk, yang mengatasnamakan agama dalam segala aksi mereka. Mereka beralasan dengan dalih jihad fi sabilillah serta sering menggunakan dalil-dalil agama. Sebagaimana dalil yang diklaim oleh para teroris untuk melegalkan tindakan mereka, yang berbunyi fal yughayyirhu biyadihi. Beliau mengatakan bahwa secara logika memang tidak salah, namun di dalam prakteknya terjadi kekeliruan. Karena banyak umat islam juga yang menjadi korban dari tindakan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar